“Ada Iniesta lain di Barcelona. Aku akan selalu mengingat namanya: Mario Rosas,” kata Xavi (dikutip dari bleacherreport)
Xavi sama sekali tidak bercanda atas apa yang telah dikatakan. Ia baru saja memperkenalkan kepada kita bahwa ada talenta La Masia luar biasa bernama Mario Rosas.
Menurutnya, jika kalian melihat Rosas pada usia 15,16, atau 17, maka kalian akan dibuat berhalusinasi. Bahkan, Xavi bisa menjamin kalau seluruh isi Camp Nou akan terhipnotis oleh talenta yang ada dalam diri Rosas.
Mario Alberto Rosas Montero, tumbuh di Malaga, bagian selatan Spanyol. Dia mendaftarkan diri ke akademi La Masia saat berusia 13 tahun, atau tepat pada 1993 silam. Meski tergolong jauh dari rumahnya, Rosas tak peduli itu. Ia tak punya waktu untuk merindukan keluarga dan memilih fokus pada tujuannya, yaitu menjadi seorang pesepakbola profesional.
“Aku orang yang mudah beradaptasi,”
“Aku punya teman dan keluarga, tapi aku bahagia di La Masia,” kata Rosas (dikutip dari bleacherreport)
Dulu, Rosas sudah berteman baik dengan Xavi. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama dan tak jarang bertukar ide tentang permainan sepakbola.
Rosas begitu mengagumi sosok Xavi, seperti Xavi mengagumi dirinya. Rosas tak pernah lupa kalau ia dan Xavi selalu hadir ke latihan tim bersama. Saat bermain, ia juga masih ingat betul kalau Xavi selalu berada di belakangnya. Xavi adalah pemain sempurna, dan bagi Rosas, ia adalah pesepakbola sejati.
Rosas dan Xavi berada dalam gelombang yang sama. Keduanya menjadi bagian dari generasi emas La Masia era 90an, termasuk Carles Puyol.
Meski mendaftar di akademi La Masia, Rosas tidak bisa ingkar jika dirinya merupakan penggemar Real Madrid. Hal itu tak lepas dari peran keluarganya yang memang sangat menyukai klub berjuluk Los Galacticos.
Rosas sendiri masuk ke tim Barcelona yang saat itu ditangani van Gaal. Ia begitu antusias saat van Gaal memanggilnya untuk berlatih bersama tim utama.
Yang membuat Rosas semakin bahagia adalah ketika ia bisa melihat pemain-pemain seperti Luis Figo, Pep Guardiola, dan Luis Enrique dalam tim. Hal itu menjadi suntikan motivasi tersendiri baginya untuk maju.
Rosas akhirnya mendapat penggilan pertamanya untuk bermain di La Liga pada Mei 1998, beberapa bulan sebelum Xavi melakukan debut. Namun entah apa yang terjadi, Barcelona kalah dengan skor 4-1, dan Rosas ditarik keluar pada babak pertama.
Sejak saat itu, namanya tak pernah lagi terdengar.
Rosas yang tak pernah lagi dipanggil pun marah kepada pelatih Louis van Gaal. Ia merasa frustasi dan menganggap kalau dirinya mampu bersaing dan hanya membutuhkan menit bermain yang cukup. Namun dengan tegas, Van Gaal menjawab,
“Kamu memang pantas bermain lagi. Tapi siapa yang harus aku singkirkan? Rivaldo? Kluivert? Figo?!”
Rosas yang merasa tidak sabar pun akhirnya mengambil keputusan untuk pergi dari Barcelona. Ia ingin tampil bersama tim utama yang bermain di La Liga, dan setelah mendapat musim yang bagus ia akan kembali ke Barcelona.
Namun rencananya itu tidak pernah temui ekspektasi. Setelah hanya tampil sekali dengan tim utama Barcelona, Rosas membela 11 klub berbeda. Dan selama itu pula, kariernya tidak ada yang istimewa. Hal itu tak luput dari kebanyakan tim yang dibelanya berada di kasta kedua.
Lagi-lagi Xavi menjadi pemain yang paling kecewa ketika Rosas tak mampu pukau dunia. Ia kenal betul Rosas, dan tak tanggung-tanggung, Rosas dianggap sebagai pemain dari gabungan Michael Laudrup dan Lionel Messi.
“Dia merupakan perpaduan Laudrup dan Messi, serius. Dua kakinya hidup, dia bisa mendribel, dan sangat kompetitif.”
“Dia punya segalanya, tapi menghilang. Itu mengejutkanku. Mungkin dia tak cukup profesional atau tidak punya mentalitas yang kuat, kita takkan pernah tahu.” (dikutip dari planetfootball)
Mario Rosas merumput bersama klub kasta dua Liga Spanyol, Eeldense, sebelum memutuskan pensiun pada 2014.
Untuk pemain dengan talenta yang diakui istimewa oleh seseorang seperti Xavi, itu jelas sangat disayangkan.