Begitu malangnya Nasib Malcom. Meskipun dibeli dengan harga yang cukup mahal, kedatangannya ke Zenith St Petersburg tidak mendapat sambutan yang baik dari para suporter. Para suporter justru membuat sebuah langkah yang kemudian memicu kontroversi.
Didatangkan dari Barcelona, Malcom mendapat sambutan yang berbau rasisme, sesuatu yang gencar dikampanyekan sebagai aksi terlarang di sepak bola. Fans Zenit tidak menerima Malcom lantaran masalah perbedaan warna kulit.
Dalam laga antara Zenit menjamu Krasnodar di Gazprom Arena, Para Suporter Zenit membentangkan banner berbau rasisme kepada pemain berusia 22 tahun itu.
”Terima kasih kepada pemimpin Zenit yang telah setia menjaga tradisi.” Begitu bunyi tulisan sarkas dari banner yang dibentangkan selama 10 menit dalam pertandingan tersebut (Di kutip dari Vaaju.com).
Suporter Zenit menganggap klub melanggar kebiasaan dengan merekrut pemain berkulit hitam. Para fans sendiri punya cara pandang yang berbeda terkait pemain dengan kulit hitam. Mereka melihatnya bukan sebagai masalah rasisme. Mereka hanya ingin menjaga tradisi klub yang selama ini tidak memakai jasa pemain berkulit hitam.
“Bagi kami tidak adanya pemain kulit hitam adalah upaya untuk menjaga tradisi, bukan rasisme,” demikian bunyi salah satu manifesto yang dibuat oleh fans menyambut kedatangan Malcom. (Di kutip dari Independent).
Ulah fans Zenit tersebut membuat Malcom uring-uringan. Pemain yang dibeli Zenit dengan biaya transfer 40 juta Euro atau sekitar Rp 638 miliar itu dilaporkan ingin hengkang.Â
Sementara itu, melihat reaksi yang diberikan oleh para pendukungnya, Pihak Klub disebut mulai khawatir dengan langkah yang telah mereka buat. Opsi untuk kembali menjual Malcom pun di utarakan. Namun, tidak untuk waktu dekat ini. Mereka baru bersedia melepas Malcom pada bursa transfer musim dingin januari 2020.
Rasisme yang diarahkan kepada pemain berkulit hitam bukan kali pertama terjadi. Pendukung Zenit sudah pernah dituding melakukan aksi yang mencederai nilai kemanusiaan serta sportivitas ini terhadap Paul Pogba dan Ousmane Dembele.
Hal itu terjadi saat mereka membela Timnas Prancis dalam laga persahabatan melawan Rusia jelang Piala Dunia 2018 di Stadion Krestovsky, markas besar Zenit. Tiap kali Pogba dan Dembele memegang bola di laga tersebut, suara oknum suporter menirukan suara monyet terdengar di dalam stadion.
Tak hanya suporter Zenit yang kerap melakukan aksi rasis. Bisa dibilang hampir semua suporter sepakbola di Rusia kerap melakukan tindakan tidak terpuji kepada pemain lawan atau bahkan pemain tim nya sendiri, khususnya bagi mereka yang berkulit hitam.
Pemain Man City, Yaya Toure juga pernah merasakan pahitnya menjadi korban rasisme dari para suporter Rusia. Itu terjadi saat ia bertandang ke Moskow untuk menjalani pertandingan Liga Champions melawan CSKA Moskwa pada 2013 silam.
Saking kecewanya dengan perlakuan suporter tim tuan rumah, Toure sampai mengajak para pemain berkulit hitam asal Afrika untuk memboikot Piala Dunia 2018. Ia mengancam para pemain asal Afrika tidak akan ambil bagian di Piala Dunia 2018 jika Rusia tak mampu mengatasi kasus rasisme.
Lalu penjaga gawang Lokomotiv Moscow Guilherme Marinato juga pernah mengalami kejadian tak mengenakan. Pemain asal Brasil tersebut mendapatkan pelecehan rasial dari suporter ekstrim saat tandang ke Spartak Moscow.
Kasus rasisme juga menimpa Peter Odemwingie,itu terjadi ketika ia memutuskan pindah dari Lokomotiv Moskow ke klub Inggris, West Browmich Albion pada 2010. Para fans Lokomotiv dengan bangga membentangkan spanduk bertuliskan “Thank You West Browmich” dengan meletakkan gambar pisang di tengah-tengah tulisan.
Sepakbola kerap menjadi tempat tumbuh suburnya tindakan rasis di Rusia. Negara ini memang terkenal akan praktik rasisme mereka yang masih berlaku hingga sekarang. Rasa nasionalisme mereka yang tinggi kerap membuat mereka tidak menghargai etnis lain.
Kebencian terhadap pendatang dari Afrika, Asia, Eropa, bahkan Cina kerap mereka tunjukkan secara terang-terangan. Meski begitu, Pemerintah Rusia dan PBB masih berusaha untuk menghentikan rasisme di Rusia.
Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan rasis muncul di sepakbola Eropa, faktor itu antara lain seperti sejarah masa lalu sebuah bangsa, ego etnis, dan adanya kesenjangan ekonomi antar dua negara.Â
Hal itulah yang kemudian membuat para suporter Rusia kerap melakukan tindakan rasis. Para suporter di Rusia biasanya melakukan tindakan tidak terpuji lewat nyanyian-nyanyian atau gerakan yang menghina seorang pemain berkulit hitam yang tengah berlaga di atas lapangan.
Sebuah klub dengan pendukung yang berlatar ultra nasionalis kerap membuat masalah dengan menyanyikan chant kebencian serta rasis. Hal ini yang membuat tidak banyak pemain asal Afrika bermain di Rusia. Jangankan yang berkulit hitam legam, pemain yang berkulit coklat seperti Hulk saja, sering sekali mendapat perlakuan rasis.
Meski bukan satu-satunya korban rasisme di lapangan hijau, pemain berkulit hitam merupakan sasaran paling empuk. Secara keseluruhan, kasus diskriminasi di sepak bola Rusia berada di angka 80, terendah sejak musim 2013/14.Â
Rusia memang bukan satu-satunya negara yang melakukan aksi Rasis, namun mereka menempati peringkat ketiga dalam daftar negara paling rasis di dunia dibawah India dan Pakistan. Artinya Rusia menjadi negara paling Rasis di Eropa. (Dikutip dari lama Listotive)
Selain di sepakbola Rusia, Aksi Rasis juga kerap terjadi di negara eropa lain seperti di Italia, Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol dan beberapa negara eropa lainnya.
Maraknya rasis dalam dunia sepakbola ini mengundang badan sepakbola FIFA dan UEFA mengkampanyekan anti rasis dengan mengusung bendera bertuliskan Say No To Racis menjelang setiap pertandingan resmi. FIFA dan UEFA pun mengeluarkan berbagai kebijakan yang menghukum kepada pemain, penonton, klub, dan badan sepakbola di sebuah negara bila melakukan tindakan rasis.