Jika ada seorang atlit yang berbadan besar dengan otot-otot melingkar. Gulat, tinju, tolak peluru, angkat besi atau rugby tampaknya akan menjadi olahraga yang tepat baginya. Otot-otot bisepnya yang besar bisa dijadikan kekuatan dan kelebihannya dalam menjalani olahraga tersebut.
Namun hal itu tak dilakukan oleh Adebayo Akinfenwa. Pria keturunan Inggris-Nigeria ini memilih jalur lain, Ia memilih sepakbola sebagai olahraga yang dipilihnya meski berat badannya tak normal untuk ukuran pemain sepakbola yakni mencapai 102 kg.
Bagi kebanyakan pecinta si kulit bundar, di dunia nyata nama Adebayo Akinfenwa mungkin masih terdengar asing. Namun bagi penggemar gim sepak bola virtual, FIFA, nama Adebayo Akinfenwa cukup tenar.
Dalam gim tersebut, Akinfenwa mendapat predikat pemain terkuat karena atribut fisiknya yang menonjol. FIFA tak sembarangan dalam menilai karena Akinfenwa di dunia nyata memang memiliki fisik yang kekar, Akinfenwa menerima penghargaan sebagai pemain terkuat sejak tahun 2015 hingga 2018.
Sayang pada tahun 2019 ini predikat tersebut beralih ke Striker Eintracht Frankfurt, Sebastian Haller.
Lantas siapa sebenarnya Adebayo Akinfenwa dan bagaimana perjalanan karirnya sebagai seorang pemain profesional.?
Pemain dengan nama lengkap Saheed Adebayo Akinfenwa lahir pada 10 mei 1982 di Islington, Inggris. Ia dilahirkan dari orang tua yang berbeda keyakinan, ibunya beragama kristen dan ayahnya seorang muslim. Sejak kecil, Akinfenwa adalah penggemar Liverpool dan pemain favoritnya yaitu John Barnes.
Akinfenwa memulai karirnya bersama akademi Watford pada tahun 2000 hingga 2001. Pada usia 18 tahun ia bergabung dengan klub Lituania , FK Atlantas atas saran dari sang agen.
Di sana ia mencuri perhatian semua orang. Selain ia memang terlahir dengan berbadan besar, ia mungkin menjadi pesepakbola hitam pertama di Lithuania. Pasalnya, ia mendapat rasisme yang luar biasa dari para penonton, bahkan dari pendukungnya sendiri.
Namun pemain yang berposisi penyerang ini bukanlah pribadi yang lemah. Sang kakak bertanya padanya, apakah ia ingin kembali ke Inggris atau ingin membuktikan pada mereka yang meneriakinya? Akinfenwa memilih untuk tetap bertahan. Dan ia pun menjalani musimnya bersama olok-olokkan yang selalu terdengar di setiap stadion.
Semua berubah ketika Akinfenwa berhasil mencetak satu-satunya gol pada final Piala Lithuania. Ia dielu-elukan bak pemain bintang. Semua orang lantas mulai menerimanya lebih jauh. Bahkan ketika Akinfenwa membuka sebuah toko adidas, orang-orang Lithuania ramai mendatangi tokonya seperti biasa.
Akinfenwa menghabiskan dua tahun di FK Atlantas sebelum kembali ke Britania Raya pada awal 2003, di mana ia bergabung dengan juara Liga Primer Wales, Barry Town. Disana ia membantu klub memenangkan ‘Welsh Cup’ dan ‘Welsh Premier League.’Â
Namun krisis keuangan membuat Barry Town harus melepas beberapa pemainnya. Dan Akinfenwa termasuk pemain yang tak mampu dipertahankan klub yang kini berlaga di divisi tiga Wales tersebut.
Akinfenwa memang tipikal pemain yang tak loyal terhadap tim. Setelah memulai berkarir di Inggris, hampir setiap musim berakhir, ia akan pindah klub.Â
Pada oktober 2003, Ia bergabung dengan Boston United, Ia mencetak gol pada menit terakhir dalam pertandingan debutnya. Ini menghasilkan kemenangan 2-1 dalam pertandingan ‘Football League Trophy’ melawan ‘Swindon Town.’
Tercatat dalam waktu satu tahun,yakni tahun 2003 Akinfenwa telah berganti klub sebanyak tiga kali. Setelah hanya bermain sebentar bersama Boston United, Ia melanjutkan perjalanan ke Leyton Orient namun tak berselang lama ia bergabung dengan Rushden & Diamonds FC.
Pada februari 2004, Akinfenwa berlabuh ke ‘Doncaster Rovers’. Lima bulan kemudian, ia menandatangani kontrak dengan Torquay United sebagai pengganti pesepakbola Skotlandia David Graham. Ia mencetak total 16 gol untuk klub selama musim 2004/05 dan atas penampilannya ia dinobatkan sebagai pemain terbaik Torquay United pada 2005.
Setelah itu, Akinfenwa melanjutkan karirnya bersama Swansea City, selama dua musim membela The Swans, ia membukukan 75 penampilan dan mencetak 21 gol di semua ajang.
Pada November 2007, ia setuju untuk bermain dengan Millwall Football Club. Sama seperti di klub-klub sebelumnya, karirnya bersama Millwall cukup singkat, disana ia hanya bermain selama tiga bulan dengan 9 penampilan di semua kompetisi.
Pada januari 2008, Akinfenwa menandatangani kontrak dengan Northampton Town. Untuk sisa musim 2007/08 ia mencetak total 7 gol musim itu. Pada musim berikutnya, ia mencetak 15 gol dan 17 gol pada musim 2009/10. Akinfenwa mengakhiri masa jabatannya bersama klub pada Mei 2010. Di tahun yang sama ia dinobatkan sebagai pemain terbaik Northampton Town.
Setelah meninggalkan Northampton Town pada 2010. Akinfenwa tercatat telah membela tiga klub berbeda, yakni Gillingham, Wimbledon, dan Wycombe Wanderers. Pada tahun 2011 hingga 2013 ia sempat kembali memperkuat Northampton Town.
Akinfenwa memang lebih sering menghabiskan karir bersama klub-klub kasta kedua dan ketiga Inggris, pada maret 2013 ia berujar ingin bertemu dengan klub asal liga primer. Ia ingin menghadapi bek-bek tangguh seperti John Terry atau Nemanja Vidic. Ia juga sempat mengidamkan untuk melawan Sol Campbell dan Marcel Desailly ketika masih muda.
Pada januari 2015, ia pun berhasil mewujudkannya mimpinya di ajang babak ketiga Piala FA, kala menghadapi Liverpool di Kingsmeadow. Meski tak menghadapi John Terry atau Vidic seperti yang dinginkannya, ia mendapat kesempatan berhadapan dengan Martin Skrtel, Mamadou Sakho dan Emre Can saat membela Wimbledon.
Bahkan lebih dari itu, laga melawan the reds tersebut menjadi laga yang spesial bagi dirinya. Pertama, ia berhasil mencetak gol ke gawang Liverpool yang dijaga Simon Mignolet. Kedua, Liverpool adalah klub idolanya sejak kecil.
Spesialnya laga melawan Liverpool berlanjut hingga akhir pertandingan. Ketika laga usai, ia mendapatkan kesempatan untuk bertukar seragam dengan pemain Liverpool. Dan ia mendapatkan kaos Steven Gerrard, yang pada pertandingan itu mencetak dua gol. Meski kalah 1-2, laga melawan Liverpool tersebut tentu saja menjadi suatu pencapaian terbaik dalam karirnya.
Dengan postur tubuh bak raksasa, sangat wajar jika dirinya tak merasa takut menghadapi siapa pun, tak terkecuali dengan Diego Costa. Pada 2015 Akinfenwa pernah mewanti-wanti Diego Costa agar tidak banyak berulah lagi. Akinfenwa yang merupakan fans Steven Gerrard itu nampak tidak terima atas perlakuan Costa terhadap sang idolanya.
Melalui akun Instagram-nya Akinfenwa mengupload foto dengan tulisan yang intinya meminta mantan striker Chelsea itu untuk lebih menjaga sikapnya.
Kini di usianya yang sudah 37 tahun, karir Adebayo Akinfenwa sebagai pesepakbola mungkin tidak akan bertahan lama lagi. Saat ini Akinfenwa masih tercatat sebagai pemain Wycombe Wanderers dan telah menorehkan 44 gol dari 138 penampilan di semua ajang sejak 2016.
Meskipun bertubuh tambun, sejauh ini, tak ada masalah dengan bobotnya dalam berkarir sebagai pesepakbola.