Pada tahun 2009, seorang reporter bertanya kepada Petr Crouch tentang apa yang akan ia lakukan jika tidak menjadi seorang pemain sepak bola. Crouch menjawab kalau ia hanya ingin menjadi manusia biasa.
Meski terdengar sederhana, ungkapan itu memiliki banyak makna. Jika Francesco Totti dicintai karena kesetiaannya, dan Lionel Messi yang dipuja karena kejeniusannya, maka Peter Crouch hanya ingin dicintai karena dirinya adalah seorang manusia.
Peter Crouch tak pernah ingin memiliki banyak penggemar. Ia bermain bola hanya karena kegemarannya. Di antara banyak striker legendaris di Premier League, nama Peter Crouch bukan diingat karena ketajamannya. Meskipun ia termasuk segelintir penyerang yang mampu mencetak lebih dari 100 gol di Premier League, ia nyaris tak pernah jadi pembunuh alami.
Yang diingat orang tentang dirinya hanyalah seorang striker kurus bertinggi lebih dari dua meter, yang sering berlari-lari pelan menunggu kiriman bola lambung. Ia juga sempat populer karena selebrasi robotnya.
Crouch melakukan selebrasi tersebut saat mencetak gol dalam uji coba sebelum Piala Dunia 2006. Ia menceritakan asal mula selebrasi ikonik itu.
Dikisahkan, sewaktu berlibur ke Miami, Florida, ia bertemu dengan Mieckey Rourke. Mereka lalu berpesta di bar sampai jam empat pagi. Saat mereka berpesta sang teman menyebut Crouch sebagai robot laki-laki.
Setelah menjalani karier yang luar biasa, tepat pada akhir musim 2018/19 lalu, Peter Crouch tiba-tiba memutuskan pensiun dari lapangan hijau. Crouch yang begitu aktif di media sosial mengumumkan kabar gantung sepatunya lewat kicauan Twitter.
“Setelah banyak pertimbangan di musim panas ini, aku memutuskan pensiun dari sepak bola. Permainan indah milik kita ini telah memberikanku segalanya. Terima kasih kepada semua orang yang membantuku hingga berada di sini begitu lama,”
kicaunya diakhiri dengan ‘X’ tanda berpelukan.
Semasa junior, ia berpindah akademi tiga kali. Dari Brentford, QPR, hingga menerima kontrak profesional di Tottenham. Di klub ini, ia terlihat tak akan mampu menembus tim utama. Jadilah ia dipinjamkan jauh hingga divisi tujuh ke Dulwich Hamlet, serta ke seberang lautan di Divisi Tiga Swedia bersama IFK Hassleholm. Di klub-klub antah berantah ini, Crouch selalu disindir.
“Apa yang bisa dilakukan ayam-30-kaki itu?”
Mendengar ejekan dari para teman sebanyanya saat itu, Crouch mengaku sempat menangis. Ia merasa tidak pantas bermain bola dan berfikir apa yang dikatakan semua orang adalah benar.
Akan tetapi, dengan kerendahan hati, Crouch mencoba tegar. Hasilnya, di klub-klub tersebutlah ia mulai mencicipi sepak bola senior. Meski kepala dan kakinya berjarak lebih dari 180cm, ia mulai belajar cara menggunakan kaki. Ia sendiri meyakini masa peminjamannya jauh lebih berpengaruh ketimbang hanya berdiam diri di tim akademi.
Crouch banyak belajar. Sekilas tubuhnya tampak ringkih. Kesigapannya rentan goyang bahkan walau hanya tertiup angin. Wajahnya cenderung pucat, menampilkan keriput saat dia terlalu sering tersenyum.
Stereotipe semacam itu melekat pada pemain tinggi menjulang tanpa dilengkapi isian tubuh atletis. Namun, Crouch jelas bukan pemain sembarangan. Ketahanan dirinya bersaing di level elite dalam waktu lama didahului cobaan tidak gampang di awal karier.
Sempat alami masa sulit di Tottenham, tim lili putih memilih menjualnya ke QPR. Pada usia 19 tahun, ia akhirnya jadi pemain utama di Divisi Dua. Setelah koleksi golnya mencapai dua digit di akhir musim, klub rival Portsmouth pun merekrutnya. Ia juga tampil bagus di klub ini. Jumlah golnya hampir berlipat ganda, yang akhirnya membuat klub Premier League memanggilnya, yaitu Aston Villa.
Masanya di Villa memang yang paling pahit di antara klub-klub lainya, Ia pindah ke Southampton setelah musim berakhir. Meski ia menderita degradasi di Soton, ia justru mulai dianggap sebagai striker papan atas Inggris. Setelah Harry Redknapp datang, ia mencetak 12 gol di paruh akhir 2004/05. Di akhir musim, ia dipinang Liverpool.
Mulai dari sini, perjalanannya terlihat sedikit berwarna. Crouch sempat puasa gol dalam 18 pertandingan, hingga disebut pembelian flop oleh sejumlah pendukung. Di lain waktu, ia mencetak gol melawan Galatasaray serta mencetak hattrick sempurna ke gawang Everton. Ia juga berkontribusi mengantarkan Liverpool ke final Liga Champions 2007.
Di Liverpool Crouch juga sempat berulah dengan tingkah konyolnya.
Suatu waktu, Dirk Kuyt, rekannya di Liverpool, pernah bercerita bahwa Crouch nyaris menabraknya di arena gokart. Kuyt memang tidak mengada-ada. Crouch ‘sengaja’ hendak menabrak pria asal belanda tersebut.
“Itu terjadi sesaat sebelum final Liga Champions (2006-07). Kami semua berada di kamp pelatihan di Portugal dan pergi ke arena balapan gokart,”
“Aku hendak menepi ke pit dan menyadari rem ku tidak berfungsi. Aku melihat Xabi Alonso dan Dirk Kuyt berdiri di sana, [dan] mengetahui bahwa aku akan menabrak salah satu dari mereka dan aku berpikir, ‘Siapa di antara keduanya yang paling berharga?'” kata Crouch (via dailystar)
Tentu saja saat itu Alonso merupakan salah satu tulang punggung skuat Liverpool. Hampir tak ada pemain yang bisa menggantikan perannya di lini tengah. Jadi pada akhirnya Crouch memilih mengarahkan gokart-nya pada Kuyt.
Di final UCL 2006/07 itu sendiri, Crouch dicadangkan oleh Rafael Benitez, dimana The Reds harus mengakui keunggulan AC Milan dengan skor 2-1.
Lalu, terkait gol-gol paling ikoniknya, Crouch memang gemar mencetak gol akrobatik. Perawakan tinggi kurus tidak menghalanginya untuk memanjakan mata para supporter.
Pada 2006 silam, seperti yang sudah disinggung, Crouch berhasil menjebol gawang Galatasaray di kompetisi Liga Champions. Ia menjebol gawang klub Turki dengan tendangan gunting.
Apakah gol itu kebetulan? Tentu tidak. Crouch juga pernah melakukannya dengan Portsmouth, saat bersua dengan Stoke City pada musim 2008/09.
Ya, selepas pergi dari Anfield, tidak ada yang menyebut Crouch gagal di Liverpool. Namun setelah Fernando Torres datang, ia menyadari masanya habis. Portsmouth pun menjadi tempatnya pulang saat itu.
Meski ia mampu mencetak 16 gol sepanjang musim, krisis finansial yang mendera klub membuatnya harus pergi. Kali ini, ia ke Tottenham Hotspur, untuk kali ketiga bermain di bawah Harry Redknapp.
Redknapp dan Crouch berhasil mencetak sejarah. Gol Crouch di musim 2009/10 memastikan Tottenham tampil untuk pertama kali di Liga Champions Eropa. Ia lalu mencetak hattrick di play-off melawan Young Boys, lalu melanjutkan perjalanan hingga perempat final.
Pada 2011, Tony Pulis memboyongnya menuju Stoke City. Disana, Ia jadi figur populer di klub. Ia ramah, bisa bercanda, dan jadi orang paling mudah dikenali di klub.
Suami dari Abbey Clancy ini lantas terus ukir cerita indahnya dengan mencetak gol voli spektakuler. Bermain untuk Stoke City di pertandingan melawan Manchester City pada bulan Maret tahun 2012 silam, Crouch kembali torehkan tinta emas dalam daftar sepakan akrobatiknya.
Akhir 2014/15, menjadi musim terakhir Crouch jadi pilihan utama, koleksi golnya di Premier League mencapai 96. Sejak saat itu hingga terdegradasi pada musim 2017/18, ia “mencicil” gol sedikit demi sedikit, hingga masuk “Club 100”: orang yang mencetak 100 gol atau lebih di Premier League. Catatan akhirnya di Premier League adalah 108 gol dari 462 penampilan.
Setelah sejumlah prestasi di level klub, dan telah tampil di dua Piala Dunia dengan koleksi total 22 gol bersama timnas, Crouch kini sedang menikmati masa pensiunnya sebagai mantan pesepakbola.
Dengan memenggal beragam konteks, faktanya Crouch mencetak lebih banyak gol di Premier League ketimbang Ruud van Nistelrooy, Cristiano Ronaldo, dan Fernando Torres.
Si Manusia Robot ini juga mencetak asis lebih banyak ketimbang David Ginola, Gianfranco Zola, dan Robert Pires. Yang tak kalah menakjubkan, tidak ada satupun orang yang bisa mencetak gol sundulan lebih banyak darinya.
Lewat sumbangan 22 gol dalam 42 pertandingan bersama Inggris, Crouch juga punya rasio gol lebih baik ketimbang Alan Shearer, Bobby Charlton, dan Wayne Rooney.
Ada beragam hal dalam hidupnya yang bahkan dia sendiri tidak pernah bayangkan terjadi. Tentu saja ini menyoal karier panjang sepak bolanya.