Skotlandia merupakan salah satu negara yang termasuk di kawasan Britania Raya. Di kompetisi Liga sepak bola mereka. Walau memiliki banyak klub sepak bola profesional namun kutub persaingan di sana selalu mengerucut kepada dua tim asal kota Glasgow yakni Celtic FC dan Rangers FC.
Di kota Glasgow sepakbola berbicara mengenai banyak hal yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan si kulit bundar. Ia bisa menyentil politik, situasi sosial, sampai membawa embel-embel agama.
Segala sengkarut tersebut dipraktikkan begitu paripurna oleh Celtic dan Rangers. Selama berabad-abad, mereka larut dalam rivalitas dengan bahan bakar sentimen di luar perkara sepak bola yang dimaksudkan untuk satu tujuan yaitu nama besar.
Derby ini adalah salah satu rivalitas tertua dan tersengit dalam dunia sepakbola. Keduanya bukan saja bersaing sejak abad ke-19 tapi masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan, kadar persaingannya nyaris tak pernah menurun.
Pertandingan tersebut dijuluki Old Firm Derby, disebut demikian antara lain karena perseteruan yang sudah berlangsung sejak lama. Selain itu kedua klub juga paling sering menjuarai Liga Skotlandia. Firm bisa berarti juga keuntungan besar yang selalu didapat kalau kedua tim bertemu karena selalu dipenuhi penonton.
Old Firm Derby dianggap oleh banyak orang sebagai pertandingan sepak bola paling brutal dan tanpa kompromi di planet bumi, Derby ini telah berlangsung selama kurang lebih 130 tahun.
Secara historis kemunculan Derby ini ditandai oleh sentimen agama yakni Katolik dan Protestan di Glasgow yang telah membentuk sifat persaingan dan perilaku sensitif dari para penggemar yang membawanya ke pertandingan agar tetap menyala.
Sebelum Celtic dan Rangers lahir, persaingan antara Katolik dan Protestan telah lebih dulu mewarnai perjalanan kota Glasgow.
Pada abad ke-18 begitu banyak imigran dari Irlandia datang ke Kota Glasgow. Hama kentang membuat penduduk di seberang lautan ini mengalami kesulitan hidup. Orang-orang yang tidak cukup mampu untuk menyeberang ke Benua Amerika pun akhirnya memilih Skotlandia untuk meneruskan hidupnya.
Akan tetapi para pendatang itu membawa politik baru, yakni terkait dengan loyalis dan republikan, juga ideologi lain seperti konservatisme, sosialisme. Tidak hanya itu, mereka pun membawa latar belakang agama Katolik Irlandia Roma.
Padahal, Glasgow sendiri awalnya merupakan kota yang sudah identik dengan penganut Protestan. Sejak abad 16, gerakan reformasi Protestan jauh lebih luas dibandingkan Katolik.
Bahkan mereka sudah sejak itu membasmi etnis-etnis katolik. Maka dari itu hingga abad 18, komunitas anti katolik di Glasgow lebih banyak ketimbang komunitas katolik itu sendiri.
Kedatangan para imigran Irlandia ini pun berdampak panjang. Sekolah-sekolah terpaksa didirikan terpisah antara Katolik dengan Protestan. Dalam hal ini Katolik masih tertindas. Selain sekolah terpisah, mereka juga sering diusir perusahaan-perusahaan Protestan. Sehingga lebih memilih membuka usaha sendiri.
Glasgow Celtic didirikan pada 1888 di ujung timur Glasgow oleh Bruder Walfrid, seorang biarawan dengan tujuan untuk mengumpulkan uang bagi komunitas Katolik kota yang miskin serta untuk membendung derasnya pengaruh kaum Protestan di dalam hal olahraga, dalam hal ini sepakbola.
Ketika Celtic berkembang sebagai sebuah klub sepak bola, mereka mampu menarik banyak orang dari komunitas Katolik-Irlandia untuk menjadi pendukungnya.
Sementara Rangers, di bentuk pada 1872, oleh sekelompok pemuda asal Gareloch di Glasgow. Tokoh terkemuka awal berdirinya Rangers adalah John Ure Primrose, seorang anggota serikat pekerja dan freemason yang secara politis bersekutu dengan Orde Oranye.
Primrose dengan lantang mengungkapkan sentimen anti-Irlandia dan anti-Katolik dan dengan demikian menjadi pelindung bagi Rangers. Tak lama, Rangers tumbuh menjadi simbol komunitas Protestan karena ukuran, keberhasilan klub, dan lokasi di bagian selatan kota.
Pertandingan pertama antara Celtic dan Rangers di lapangan dilaksanakan pada 28 Mei 1888. Celtic, yang kala itu berstatus tuan rumah, unggul dengan skor 5-2. Setelah itu,kesebelasan berjuluk The Bhoys langsung menyabet empat gelar dari enam kejuaraan liga Skotlandia.
Setelah melihat kesuksesan Celtic, umat Protestan pun tak mau kalah. Mereka merasa perlu untuk menguasai kembali kompetisi di kota dan bahkan juga negara mereka. Rangers yang sebenarnya tidak mengusung aliran religius dan politik tertentu, mulai dijadikan medium untuk menyalurkan keinginan kaum Protestan.
Itu berawal dari beberapa kali kemenangan Rangers atas Celtic. Rangers pun akhirnya ditahbiskan sebagai kendaraan bagi kaum Protestan Skotlandia dalam menyalurkan aspirasi agama dan pandangan politiknya.
Setiap kali mereka bertemu, pertandingan selalu berlangsung seru baik di dalam maupun di luar lapangan. Terkadang jalannya pertandingan dan hasilnya tidak begitu penting. Yang lebih seru mungkin aroma persaingan dan kebencian dari perang antar agama yang telah terjadi berabad-abad sebelumnya.
Derby ini sekaligus mempertemukan suporter fanatik kedua tim. Salah satu grup suporter Celtics adalah Tims, yang merupakan kombinasi dari nama geng Katolik bernama Tim Malloys dan The Calton. Mereka kerap berhadapan atau berseteru dengan pendukung Rangers yang menyebut dirinya Billy Boys.
Di stadion selalu bermunculan simbol-simbol dan nyanyian yang menunjukkan fanatisme religius mereka. Selain mempertentangkan antara Katolik dan Protestan, ada juga sentimen antara pendukung kerajaan Inggris dan Republikan Irlandia Utara. Rangers termasuk loyalis pada kerajaan Inggris Raya, sedangkan Celtic kerap diidentikkan dengan teroris IRA dengan cita-cita membangun Republik Irlandia.
Memasuki era modern, rivalitas berlandaskan politik dan agama ini terus berlanjut. Beberapa hal, yang sudah tertanam kuat dan menjadi tradisi masa lalu, coba dipertahankan. Seperti misalnya bagaimana Rangers, selama satu abad lebih, menolak merekrut pemain beragama Katolik. Pada akhirnya, kebijakan ini gugur pada 1989 tatkala Rangers memboyong Maurice Johnson, yang beragama Katolik.
Di lapangan, situasi lebih brutal lagi. Pendukung kedua kesebelasan tak ragu melempar nyanyian bernada intoleran dan sektarian.
Tak jarang, saling lempar ejekan tersebut berujung pula pada aksi kekerasan. Final Piala FA Skotlandia 1980 di Hampden Park merupakan bukti konkretnya. Waktu itu, ribuan orang pendukung dua klub langsung menyerbu lapangan untuk saling baku hantam sesaat selepas wasit meniup peluit panjang.
Rivalitas panas ini juga berdampak pada jajaran pemain maupun pelatih. Neil Lennon, manajer Celtic pada 2010-2014 yang juga seorang Katolik serta berasal dari Irlandia Utara sering menerima paket berisi peluru. Pengirim diduga kuat berasal dari kelompok pendukung Rangers yang Protestan.
Pemerintah Skotlandia sebetulnya tak tutup mata melihat aksi-aksi barbar bermotif agama yang dilakukan kedua belah pihak. Pada 2011, guna memutus mata rantai sektarianisme dalam sepakbola, pemerintah mewacanakan pembentukan Offensive Behaviour at Football and Threatening Communications Act.
RUU sedianya ditujukan menghukum mereka yang dianggap “menghasut publik dengan ujaran kebencian” di semua pertandingan sepakbola.
Namun, wacana RUU ini tak diteruskan. Penyebabnya: pemerintah dianggap kelewat mengintervensi urusan lapangan dengan perangkat regulasi yang ada. Dikhawatirkan, regulasi tersebut justru hanya akan memperkeruh situasi dan membuka ruang penangkapan semena-mena oleh aparat kepolisian.
Tak selamanya rivalitas kedua klub ini terus mendidih. Semakin ke sini, sentimen agama yang kerap dibawa dalam setiap pertandingan diakui banyak pihak mulai mereda. Pasalnya, di balik segala adu mulut dan fisik masing-masing pendukung, Celtic-Rangers pada dasarnya adalah dua kolektif yang saling membutuhkan.
Dalam laporannya berjudul “‘An Eternal Relationship’: Scotland’s Famous Football Rivalry” yang terbit di Al Jazeera, David Child menulis turunnya tensi agama dalam Old Firm Derby bisa dilihat dari statistik yang memperlihatkan bahwa hampir 60 persen orang Skotlandia, pada 2016, menggambarkan diri mereka sebagai ateis, naik dari yang mulanya 40 persen di awal milenium.
Selain itu, yang menyatakan dirinya adalah seorang Protestan atau Katolik hanya kurang dari 30 persen, atau sekitar lima juta orang, turun 19 persen dari 1999.
Tensi kian amblas tatkala pada 2012, Rangers ditetapkan harus turun empat tingkat dari piramida tertinggi sepakbola Skotlandia karena masalah finansial dan penghindaran pajak secara ilegal. Absennya Rangers, catat The New York Times, berarti dua hal.
Pertama, laga derby tak lagi panas. Kedua, membikin Celtic rugi sebanyak 40 juta paun akibat hilangnya potensi pendapatan yang bisa ditimbulkan dari laga Old Firm—merchandise sampai tiket—selama 4 tahun berturut-turut.
Persaingan yang tak kalah seru tentunya diatas lapangan atau dalam hal prestasi. Selain bersaing di luar lapangan, keduanya juga bersaing ketat dalam hal prestasi. Seperti yang sudah disinggung diawal, tidak ada dua klub yang begitu mendominasi liga seperti halnya Celtic dan Rangers.
Dari 118 kali penyelenggaraan Liga Skotlandia yang sudah bergulir sejak 1890, 104 gelar liga dimenangi bergantian oleh kedua tim dengan ciri khas warna masing-masing hijau putih dan biru tersebut. Bagi pendukung lain maupun yang netral mungkin rekor itu terasa monoton, seakan tidak ada tim lain yang bisa menandingi mereka. Tapi harus diakui justru disitulah keunikan SPL.
Apalagi pertandingan antara kedua tim selalu berlangsung seru dan dramatis. Dari 318 kali pertemuan di SPL, Rangers lebih unggul dengan 121 kali mencatat kemenangan, 87 imbang dan 110 kali dimenangkan Celtic.
Kalau digabungkan dengan ajang lainnya, mereka sudah 418 kali bertemu. Rangers tetap lebih unggul dengan mencatat 161 kali kemenangan, 99 kali imbang dan sisanya 158 kali dimenangkan Celtic.
Meski begitu dalam beberapa tahun terakhir prestasi Celtic lebih bersinar. Mereka bahkan menjuarai liga selama delapan musim berturut-turut dengan tiga musim terakhir dilalui dengan meraih treble domestik.
Pada akhirnya, Old Firm Derby adalah soal rivalitas dua klub dalam satu kota yang dibumbui banyak hal; agama, politik, hingga sejarah. Ketiganya berkelindan membentuk satu benang merah yang terbentang dari sudut gawang satu ke yang lainnya di Celtic Park maupun Ibrox Stadium.
Meski tensi tidak sepanas di masa lalu, sejarah rivalitas dua klub ini selalu akan ada di sana, tidak akan pernah berubah. Celtic menjadi klub yang mengibarkan bendera Irlandia di atas Celtic Park, sementara Rangers pernah punya riwayat menolak semua pemain Katolik serta mengumandangkan serapah pada Paus.