Tepat setelah laga berjalan selama 42 menit, Basile Boli melompat ke udara. Dengan memanfaatkan sepak pojok Abedi Pele, tandukan pria yang kini berusia 52 tahun itu tak mampu dihalau oleh kiper Milan, Sebastiano Rossi. Bola yang melayang ke sudut kanan gawang itu berhasil mengubah skor partai Final Liga Champions Eropa tahun 1993 menjadi 1-0 untuk keunggulan Marseille.
Hingga peluit panjang dibunyikan, Marseille sukses mempertahankan keunggulan dan keluar sebagai juara. Mereka berhasil catatkan sejarah dengan menjadi penguasa Eropa setelah mengalahkan AC Milan di Munchen, Jerman.
Namun bukannya menjadi momen yang bisa terus dirayakan, status juara Marseille di kancah Eropa justru menjadi penanda bahwa klub ini pernah alami masa kelam.
Pada media 1990-an, Marseille menjadi kesebelasan Prancis pertama yang meraih gelar juara di tingkat Eropa. Marseille juga menjadi pemenang di final Champions League edisi pertama. Meskipun tidak lama setelahnya, Marseille dilempar ke divisi kedua.
Saat itu, Marseille berhasil mengunci kemenangan atas Valenciennes. Pertandingan yang berakhir dengan skor 1-0 untuk keunggulan Marseille itu menjadi penanda bahwa klub yang bermarkas di Stadion Vellodrome telah memenangkan gelar Ligue One Prancis.
Akan tetapi gemerlap yang dirayakan Marseille tak berlangsung lama. Pasalnya, langsung muncul kabar yang menyebut kalau mereka telah melakukan kasus suap hingga doping pemain.
Saat itu, diceritakan sebelum laga melawan Valenciennes, bos Marseille, Bernard Tapie, melakukan suap kepada para pemain lawan dengan tujuan agar mereka mengalah.
Setelah dilakukan penyelidikan, diketahui bahwa Bernard Tapie saat itu memberi perintah langsung kepada Jean-Pierre Bernes, yang merupakan seorang general manager Marseille, untuk melakukan suap terhadap beberapa pemain Valenciennes, yakni Jacques Glassman, Jorge Burruchaga, dan Christophe Robert. Jean-Jacques Eydelie, bek sayap Marseille, dibebani tugas menghubungi ketiga pemain tersebut.
Saat itu, Tapie melakukan suap untuk memastikan kalau Marseille mendapatkan dua hal. Yang pertama adalah tentang kepastian menjadi juara Ligue One. Dan yang kedua adalah tidak ada pemain yang cedera, pasalnya mereka harus menghadapi laga final Liga Champions melawan AC Milan.
Jika mereka gagal menang melawan Valenciennes, maka mereka harus melakukan laga hidup mati melawan Paris Saint Germain untuk menentukan status juara Ligue One, yang mana laga tersebut akan dihelat setelah final melawan AC Milan. Praktis, Bernard Tapie tidak ingin para pemainnya terbebani dan ingin segera menuntaskan gelar Ligue One saat itu juga.
Pelatih kepala Marseille, Raymond Goethals, pun menjadi salah satu aktor dari kasus ini. Pasalnya, itu bukan hal baru baginya. Goethals tercatat pernah berada di kesebelasan yang terlibat dalam pengaturan skor di pertandingan liga agar dapat berkonsentrasi terhadap pertandingan final di tingkat Eropa. Hal itu terjadi saat dirinya menjadi penggagas suap kepada para pemain Waterschei di pertandingan terakhir Liga Belgia 1981/82. Tujuannya agar kesebelasannya menjadi juara liga dan tidak ada pemainnya yang cedera sebelum berhadapan dengan Barcelona di final European Cup.
Setelah kasus tersebut terkuak, Bernard Tapie, harus menjalani hukuman dua tahun dan pemain mereka yang terbukti menawarkan suap, Jean-Jacques Eydelie, dilarang aktif dalam kegiatan sepak bola.
Kasus suap inipun membuat Marseille diturunkan ke divisi kedua. Gelar juara Ligue One mereka dicabut karena kecurangan di pertandingan melawan Valenciennes.
Untuk kecurangan yang dilakukan melawan AC Milan sendiri, para pemain Marseille ternyata menggunakan doping guna menjaga stamina.
Bek mereka, Jean-Jacques Eydelie, bahkan secara terang-terangan mengaku kalau para pemain Marseille memang menggunakan doping.
“Para pemain menggunakan doping sebelum laga final melawan AC Milan. Kami semua menerima suntikan. Dan aku pun merasakan kondisi yang sangat berbeda saat pertandingan.” (dikutip dari thesefootballtimes)
Menurut Jean-Jacques Eydelie, satu-satunya pemain yang menolak untuk menggunakan doping hanyalah Rudi Voller.
Klaim Jean-Jacques Eydelie juga dikuatkan oleh penyataan Tony Cascarino bahwa sebelum pertandingan, para pemain Marseille kerap mendapat suntikan.
“Kami menerima suntikan dibagian punggung bawah. Aku tidak begitu yakin apa itu. Tapi semua orang menganggap itu baik dan setelah mendapat suntikan itu, kondisiku memang merasa jauh lebih baik.” (dikutip dari thesefootballtimes)
Ditahun 2006, setelah mendengar pengakuan dari Jean-Jacques Eydelie, para pemain AC Milan termasuk mantan CEO Milan, Adriano Galliani, geram bukan main. Mereka meminta UEFA untuk memberikan gelar Liga Champions 1993 kepada Milan.
Menurut mereka, apa yang telah diperbuat para pemain Marseille sangat memalukan dan tidak bisa mendapat toleransi sedikitpun. Akan tetapi setelah menunggu proses, Milan tak mendapat apa yang diminta.
Di tingkat Eropa, Marseille hanya kehilangan hak bermain di European Super Cup dan Intercontinental Cup. Gelar juara Champions League tetap milik mereka, namun Marseille dilarang mempertahankannya. Klub asal Prancis itu tidak boleh ambil bagian di Champions League 1993/94 atau pada musim berikutnya.