Rambut pirang dibawah bendera ceko akan selalu mengingatkan kita pada sosok Pavel Nedved. Sosok eksplosif yang kerap mencetak gol melalui tendangan gledek ini akan selalu dikenang sebagai pemain terbaik yang pernah ada.
Pavel Nedved adalah sosok memori yang akan selalu melekat dalam benak pecinta bola, khususnya para tifosi di era 90an.
Di era 90-an hingga awal 2000-an, Pavel Nedved adalah sosok gelandang top dunia. Penampilannya yang membawa Timnas Ceko ke final Piala Eropa 1996 membuat kesebelasan-kesebelasan liga top Eropa meliriknya.
PSV Eindhoven yang saat itu masih menjadi kandidat juara Liga Champions berusaha mendapatkannya. Namun akhirnya, Lazio-lah yang berhasil mendapatkan tanda tangannya.
Pavel Nedved memang sangat terlihat kalem di luar lapangan. Namun saat sudah membawa bola diatas lapangan, ia akan menjadi dinamit bertenaga besar yang siap mengoyak jala lawan.
Nedved merupakan sosok yang jauh dengan gemerlap kehidupan malam karena lebih senang menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia tidak suka kebisingan. Karenanya ia lebih senang menggeluti golf di waktu senggang.
“Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan berlatih. Aku juga lebih memilih untuk beristirahat daripada pergi ke pesta semalam suntuk.” ungkap Nedved (dikutip dari vice.com)
Awal karier profesionalnya dimulai dengan klub lokal, Dukla Praha. Semusim bermain untuk Dukla Praha, ia pindah ke Sparta Praha. Bermain selama empat musim untuk Sparta Praha, Nedved berhasil merengkuh tiga kali juara liga. Pada tahun 1996, Nedved berangkat bersama tim nasional Republik Ceko untuk mengikuti ajang Piala Eropa 1996 di Inggris.
Saat itu, Nedved tampil bersama nama-nama populer seperti Karel Poborsky, Patrik Berger, hingga Vladimir Smicer. Ceko berhasil melaju hingga partai final, namun sayang harus kandas dari tim kuat Jerman.
Dari momen tersebut, Nedved lalu memilih untuk bergabung dengan Lazio. Bermain bersama Lazio membuat nama Nedved semakin melambung. Ia berhasil menyumbangkan trofi scudetto dan mencetak 6 gol dalam 41 penampilan.
Di Lazio, Nedved menjadi bagian dari era keemasan tim elang bersama dengan Roberto Mancini, Juan Veron, Marcelo Salas, Alessandro Nesta, dan Diego Simeone. Selain scudetto, Nedved juga berhasil sumbangkan trofi Copa Italia dan Piala Super Eropa.
Setelah lima musim membela Lazio, Nedved secara mengejutkan pindah ke Juventus. Saat itu ia mengaku kalau Lazio tidak benar-benar menginginkannya. Padahal, Nedved baru saja memperpanjang kontrak selama empat tahun.
Juventus beruntung mendapatkannya. Selain kualitasnya yang tak perlu diragukan lagi, loyalitas Nedved pada Si Nyonya Tua pun menjadi cerita tersendiri. Di musim pertamanya, Nedved langsung berhasil persembahkan trofi scudetto bagi Si Nyonya Tua.
Puncak kariernya mungkin akan diingat orang ketika Nedved bersama rekan-rekannya berhasil membawa Juventus meraih Scudetto pada tahun 2003 serta membawa Juventus ke partai puncak Liga Champions. Musim 2002/03 benar-benar menjadi musim yang tak terlupakan bagi Nedved.
Di tahun tersebut, pemain asal Ceko bahkan sukses meraih penghargaan Ballon D’or, mengalahkan pesaing lainnya seperti Thierry Henry dan Paolo Maldini.
Namun dibalik prestasi mengantar Juve ke babak pamungkas Liga Champions Eropa, Nedved punya penyesalan terbesar dalam hidupnya. Sebuah goresan yang mencoreng catatan gemilangnya pada musim tersebut. Saat Gianluigi Buffon dan kolega berjuang demi trofi Si Kuping Besar, Nedved, yang terkena akumulasi kartu hanya bisa duduk dibalik bangku penonton.
Tidak bisa tampil di partai final merupakan penyesalan terbesar Nedved. Musim tersebut, ia berhasil cetak lima gol sepanjang turnamen, termasuk gol indahnya saat mengelabui beberapa pemain bertahan Barcelona di babak perempat final, serta satu cannon ball-nya ke gawang Casillas di babak semi final.
“Aku sangat kecewa, karena tak bisa main di final. Aku sedih, bahkan serasa mau mati,” ungkap Nedved (dikutip dari irishtime)
Sambil berlinang air mata, Nedved menunjukan penyesalan yang begitu mendalam. Ia yang mati-matian membawa Juventus ke babak final, harus absen berlaga di partai puncak karena hal yang sebenarnya tak perlu. Ya, Nedved melakukan pelanggaran terhadap Steve McManaman yang tak berarti apa-apa bagi Juventus.
Marcelo Lippi yang menjadi pelatih Juventus juga turut menyesal. Ia mengaku kalau Juve telah kehilangan pemain terpenting nya di laga final.
Di Stadion Old Trafford, menghadapi tim senegara, AC Milan, Nedved hanya mampu memandangi rekan setimnya di lapangan, bersama dengan 63,125 penonton lain di tribun teater impian.
Harapannya untuk melihat Juve juara pun sirna. Pertandingan selama 120 menit harus ditentukan lewat adu pinalti. Dan momen yang akan selalu diingat adalah, Andriy Shevchenko mampu mengelabuhi Buffon untuk kemudian memberi gelar Liga Champions ke enam bagi AC Milan.
Selain gagal bermain di final dan melihat Juve tak mampu raih trofi Liga Champions, Nedved punya penyesalan yang lebih besar dalam hidupnya. Meski mengaku mencintai Juventus, ia tak menampik kalau tidak pernah bermain untuk Manchester United adalah sebuah penyesalan baginya.
Nedved bahkan berani menjelaskan bahwa ia mungkin tidak akan berpikir panjang jika datang tawaran untuk membela Setan Merah.
“Sebuah penyesalan? Bahwa aku tidak pernah bermain bagi Manchester United, meski pun transfer tersebut memang tidak pernah dibicarakan. Ketika itu, hanya ada (ketertarikan dari) Chelsea,” beber Nedved (dikutip dari sportskeeda)
“Aku menyukai generasi (pemain) dari Paul Scholes dan Ryan Giggs, dua sosok yang aku kagumi. Aku sedikit iri dengan Karel Poborsky (rekannya di tim nasional Rep. Ceko), yang bermain di Manchester dan menjalani partai-partai hebat. Aku tahu ia masih merasakan cinta tersebut,”
Namun tidak adanya tawaran dari Manchester United justru membawa berkah bagi Nedved. Ia terus membela Juventus, bahkan saat Si Nyonya Tua tergelincir ke Serie B.
Berbeda dengan pemain bintang lainnya seperi Zlatan Ibrahimovic, Lilian Thuram, Fabio Cannavaro hingga Gianluca Zambrotta yang memutuskan angkat kaki dari Turin, pemain berambut pirang ini memilih setia bersama La Vecchia Signora.
Pada musim 2008/09, Nedved memainkan partai terakhirnya melawan Lazio, mantan klubnya pada laga pamungkas musim itu. Pada pertandingan yang dimenangkan Juventus dengan skor 2-0 itu, ia mendapatkan penghormatan spesial dari penonton yang hadir. Tak mengherankan, karena total 327 penampilan telah ia bukukan bersama Juventus.