Real Madrid barangkali menjadi salah satu tim yang mengakui ketajaman Roy Maakay. Kala itu, tepat pada 7 Maret 2007, pertandingan akbar dalam balutan khas kompetisi terbaik Eropa, Roy Makaay ukir sejarah di persepakbolaan benua biru.
Makaay torehkan rekor sebagai salah satu pencetak gol tercepat di kompetisi Liga Champions Eropa.
Penyerang asal Belanda itu mencetak gol saat pertandingan baru berumur 10,12 detik. Gol Makaay juga sekaligus menyingkirkan Real Madrid di babak 16 besar kompetisi elite Eropa itu.
Rudolphus Antonius “Roy” Makaay, boleh dibilang menjadi salah satu penyerang terbaik yang pernah ada. Memulai karier profesional di Vitesse pada 1993, Makaay sudah tunjukkan tanda akan kuasai dunia.
Melalui kaki-kakinya, Makaay yang punya perawakan tinggi besar tak kewalahan dalam mengejar bola. Bentuk hidung yang runcing seolah mengisyaratkan, bahwa lesatan yang berasal dari kakinya akan selalu mengarah tepat ke gawang lawan.
Di kompetisi liga Belanda kala itu, Makaay berhasil lesatkan 42 gol dari 109 penampilan.
Setelah sempat jajal karier di klub Tenerife, selama dua tahun, bakat Makaay sudah cukup untuk membuat Deportivo La Coruna terbelalak.
Di klub yang terbentuk pada tahun 1906, Makaay menjadi wujud dari seorang penyerang kelas wahid.
Ketika masih memperkuat Deportivo, Makaay berhasil membuat tim tersebut memecah dominasi Real Madrid dan Barcelona. Ia berhasil mengantarkan Deportivo meraih gelar juara La Liga pada musim 1999/00, lalu diiringi kesuksesan meraih trofi Copa del Rey pada musim 2001/02.
Perjalanan Makaay di klub tersebut memang amat luar biasa. Dulu,
Deportivo La Coruna adalah satu dari tiga klub yang bisa mengganggu dominasi FC Barcelona dan Real Madrid di La Liga dalam dua dekade terakhir.
Nama Roy Makaay jelas lekat dengan keberhasilan itu.
Makaay mencetak 22 gol dalam 36 pertandingan La Liga 1999/00, Ia berperan besar membawa Deportivo menjuarai La Liga musim tersebut.
Dengan mengantongi 21 kemenangan dan enam hasil seri, Deportivo mengungguli FC Barcelona dengan perbedaan lima poin (69 berbanding 64).
Musim itu, salah satu kunci keberhasilan Deportivo adalah mampu memetik kemenangan saat menjamu dua raksasa La Liga, Barcelona (2-1) dan Real Madrid (5-2). Saat menjungkalkan Real Madrid 5-2 di Stadion Riazor, pada 6 Februari 2000, Roy Makaay menjadi pencetak gol pembuka kemenangan Depor.
Keberhasilan Deportivo menjuarai La Liga 1999/00 saat itu sungguh mengejutkan publik Spanyol. Bersama Atletico Madrid dan Valencia, Deportivo, sekali lagi, menjadi pengganggu dominasi Barcelona dan Real Madrid, yang dua penguasa La Liga.
Dibarengi kekompakan bersama Djalminha, Diego Tristan, Fran, Donato, dan Mauro Silva, mereka mampu memperlihatkan bahwa skuat kecil bisa berprestasi besar.
Saking hebatnya kekuatan Deportivo kala itu, publik sampai menjulukinya dengan sebutan “Super Depor”.
Supremasi Deportivo kala itu juga tak lepas dari peran pelatih super jenius, Javier Irureta.
Berbekal pengalaman dua kali merengkuh titel La Liga bersama Atletico Madrid serta satu trofi Piala UEFA bareng Athletic Bilbao, mantan pesepakbola yang berposisi sebagai striker ini hanya perlu waktu satu tahun untuk menyulap Deportivo menjadi tim yang disegani sejak dia mendarat di musim 1998/99.
Perjalanan karier manajerialnya dengan melatih delapan klub berbeda membuat sang pelatih mahfum betul dengan segala aspek teknis dan non-teknis dalam menjalankan klub. Pengalaman panjangnya selama satu dekade lebih diejawantahkan bersama Deportivo. Pria yang kini berusia 71 tahun itu berhasil menggali secara optimal potensi yang dimiliki timnya.
Lagi-lagi, kesuksesan Deportivo tak lepas dari aksi Roy Makaay, dan juga Diego Tristan.
Duo superstar Deportivo ini sangat masyhur pada zamannya, dan merupakan protagonis tim ketika musim 1999/00 menjadi tonggak sejarah bagi Deportivo dengan merengkuh satu-satunya titel tertinggi mereka di Spanyol.
Tristan dan Makaay membentuk duet ujung tombak menakutkan dengan masing-masing tampil sangat produktif di musim itu. Total sebanyak 41 gol berhasil mereka ceploskan.
Nama Roy Makaay kian dikenal luas, setelah mencetak tiga gol ke gawang FC Bayern kawalan Kahn pada 19 September 2002. Kala itu, Makaay sedang menjalani musim terakhirnya untuk Deportivo La Coruna.
Kebobolan tiga gol oleh Makaay, bagaimanapun, adalah sebuah berkah terselubung untuk Bayern. Dalam diri Makaay, mereka menemukan seorang penyerang baru. Dari Spanyol, Makaay kemudian melanjutkan kariernya ke Jerman untuk membela Bayern.
Ya, setelah bejibaku selama empat tahun bersama Deportivo, Roy Makaay resmi pindah ke FC Bayern pada musim kompetisi 2003/04.
Sebagai tambahan, prestasi lain Makaay, pada kompetisi 2002/03 ia menjadi pencetak gol terbanyak di La Liga dengan koleksi 29 gol. Serta meraih Sepatu Emas Eropa 2003 sebagai tanda pencetak gol terbanyak di kompetisi-kompetisi elite Benua Biru.
Episode hengkangnya Makaay ke FC Bayern pada 2003 disusul kepergian Tristan ke Mallorca dan sang pelatih Irureta merapat ke Real Betis merupakan momen kehilangan terbesar Deportivo. Setelahnya, mereka bak berjalan tanpa arah. Deportivo kembali bertransformasi menjadi tim semenjana.
Pindah ke FC Bayern tak membuat ketajaman Makaay pudar. Ia menjadi ujung tombak The Bavarian selama bertahun-tahun. Dalam 129 pertandingan, ia sukses ceploskan 78 gol.
Tak hanya itu, lemari trofinya juga dihiasi dengan kumpulan piala domestik Jerman. Dua trofi Bundesliga dan dua piala DFB-Pokal.
Di FC Hoolywood, Makaay benar-benar mendapatkan segalanya. Kesuksesan dan popularitas ia dapatkan ketika membela FC Bayern. Selain berbagai gelar juara, prestasi terbaik yang berhasil ditorehkan Makaay ketika bermain di sana adalah tercatat dalam rekor sebagai pencetak gol tecepat di ajang Liga Champions.
Lebih lanjut, hijrah ke FC Bayern juga membuat kariernya semakin naik di timnas Belanda. Pelatih timnas Belanda, Dick Advocaat, sebenarnya lebih memilih memainkan Makaay seorang diri ketimbang mesti memainkan Ruud dan Kluivert secara berpasangan di Piala Eropa 2004. Turnamen tersebut adalah bakti terakhir Makaay untuk timnas Belanda di mana ia berhasil mencetak satu gol ketika tim Oranje berhadapan dengan Latvia di fase grup.
Dalam hal ini, nama Roy Makaay layak disematkan diantara perdebatan Ruud van Nistelrooy dan Patrick Kluivert. Kedua bomber itu memang luar biasa, namun Makaay, bak setitik cahaya diantara gemerlapnya seruan nama dua striker tersebut.
Menurut legenda Johan Cruyff, Ruud van Nistelrooy merupakan penyerang yang hebat namun bukan pesepak bola yang bagus. Sementara Kluivert sebaliknya, bukan penyerang hebat, tapi mantan pemain Barcelona ini merupakan pesepak bola yang bagus.
Namun, Makaay berada di antara keduanya. Ia merupakan penyerang dan pesepak bola yang juga sama bagusnya. Makaay bisa secara tiba-tiba sudah berada di muka gawang lawan dan mencetak gol. Makaay cerdik dan memiliki reaksi yang cepat seperti Ruud, tetapi ia juga cerdas dan bisa terlibat banyak dalam permainan secara keseluruhan seperti Kluivert.
Setelah melakukan petualangan yang amat luar biasa di Spanyol dan Jerman, Makaay kemudian kembali ke Belanda dan memperkuat Feyenoord Rotterdam. Ia bermain di sana selama tiga musim, lalu pensiun jelang digelarnya Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Selepas gantung sepatu, kini Makaay disibukkan dengan pekerjaanya sebagai pelatih tim usia dini Feyenoord.
Makaay merupakan sosok harapan diantara maraknya perdebatan. Negri Belanda tak akan pernah lupa dengan sosoknya.
Para pecinta bola tak akan bosan untuk mengenang sang legenda. Eks pemain yang kini berusia 44, tahu bahwa kariernya tak akan sia-sia. Lebih dari itu, Makaay, adalah bakat yang paling dinanti dalam lintas generasi.