Ed Vulliamy, mantan penulis The Guardian, menyatakan bahwa ia melihat banyak mayat menumpuk tinggi. Baginya, Heysel tahun 1985, merupakan tragedi terbesar dalam persepakbolaan Eropa.
Ed Vulliamy yang saat itu ikut berada di tribun penonton menggambarkan suasana Heysel yang begitu mencekam. Sorak sorai para pendukung Liverpool dan Juventus berubah menjadi peristiwa kelam tak terlupakan.
Setelah pulang dari pertandingan itu, ia menemui dua orang pendukung Liverpool. Pertama ia menemui seorang penggemar The Reds yang mengatakan kalau ia akan berhenti menonton sepakbola setelah 25 tahun. Tragedi malam itu benar-benar mengubah pandangannya terhadap sepakbola. Permainan yang biasa menggunakan bola untuk ditendang itu berubah menjadi tragedi yang menyertakan tumpukan mayat untuk ditendang.
Namun berbeda dengan fans lainnya, Ed Vulliamy dibuat begitu terkejut saat ia mewawancarai seorang penggemar Liverpool yang mengatakan, “Bagus, mereka pantas mendapatkannya!”.
Tragedi Heysel atau yang lebih populer dengan nama Heysel Stadium Disaster terjadi pada 29 Mei 1985. Peristiwa kelam itu terjadi satu jam sebelum pertandingan final Piala Champions antara Juventus melawan Liverpool.
Hari itu, Liverpool dan Juventus menjadi dua kekuatan terbesar sepakbola Eropa. Stadion Heysel di pusat kota Brussel, Belgia, menggelar hajatan besar. Awalnya, tak ada yang mengira kalau final tersebut akan berujung petaka. Seperti kebanyakan venue final Piala Champions, hari itu Brussel dipenuhi oleh fans dari kedua kesebelasan. Mereka bernyanyi, menenggak bir, dan bersuka cita.
Namun, semua itu berubah 180 derajat sebelum pertandingan dimulai.
Kerusuhan bermula ketika penggemar Liverpool tidak terima dengan jatah jumlah penonton yang diberikan panitia. Mereka hanya mendapat dua sektor, sementara Juventus mendapat tiga sektor. Seperti yang sudah disampaikan bahwa Liverpool dan Juventus merupakan tim yang amat populer. Maka jumlah penonton yang hadir pun otomatis sangat luar biasa.
Sat itu, satu sektor lainnya diperuntukkan bagi penonton netral dari Belgia.
Masalahnya, satu sektor dibelakang gawang yang seharusnya diberikan kepada Liverpool, yang sedianya digunakan oleh pentonton netral tersebut, malah diisi oleh penonton yang mayoritas pendukung Juventus yang berada di Belgia.
Parahnya lagi, batas antara dua sektor netral yang dihuni penggemar Juventus dan penggemar Liverpool hanya terbuat dari kawat tipis dan pagar betis polisi yang jumlahnya tidak seberapa. Sontak, bermula dari aksi saling ejek, kedua supporter tersebut kemudian saling lempar botol dan bongkahan batu stadion.
Ya, bongkahan batu stadion banyak ditemukan di Heysel. Hal ini yang pada akhirnya juga menjadi penyebab mengapa tragedi semakin tidak bisa terhindarkan.
Meskipun disebut sebagai stadion utama dipusat kota, kondisi Heysel tidak benar-benar baik. Berusia 55 tahun saat laga tersebut dilaksanakan, Heysel tidak terlalu mendapat perhatian hingga membuat beberapa bagian gedung tersebut terlihat berceceran. Bahkan, dilaporkan juga banyak penggemar Liverpool yang menyelinap melalui celah celah tembok yang memang sengaja mereka hancurkan.
Sebetulnya, perwakilan dari dua petinggi masing-masing klub sudah menghawatirkan kondisi stadion tersebut. Namun setelah mengajukan usulan kepada UEFA untuk memindah pertandingan ke stadion yang lebih layak, hal itu ditolak.
Puncaknya, karena aksi saling lempar dirasa tidak cukup oleh para penggemar Liverpool, mereka yang disebut sebagai hooligans itu nekat memanjat pagar untuk menyerang langsung para tifosi Juventus.
Karena supporter Juventus yang berada di tribun dekat Liverpool bukanlah garis keras, mereka memilih untuk tidak melawan. Terlebih, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Mereka pun mencoba kabur ke tembok pembatas, dan dari situ, bencana terjadi.
Bukan hanya penggemar Juventus yang tak kuasa menahan kegilaan fans Liverpool, tembok yang sudah rapuh pun tak kuasa menahan beban yang sedemikian berat. Tembok runtuh, supporter berjatuhan. Diberitakan, sejumlah 39 orang tewas akibat terinjak-injak, dimana 600 lainnya mengalami cedera parah.
Melihat para rekan tifosinya dibantai oleh para hooligans, penggemar Juventus yang berada di sektor seberang mencoba melawan. Namun, petugas keamanan yang sigap untuk mencegah kejadian yang lebih parah berhasil meredam aksi berbahaya tersebut.
Bagaimanapun, serangan membabibuta para hooligans Liverpool akan selalu diingat sebagai peristiwa kelabu. Tak terkecuali bagi Bruno Guarini. Pria Italia itu sangat menyesal telah membawa anaknya, Alberto, melangkah ke Heysel.
Melalui The Guardian, Guarini bercerita,
“Mereka berlari ke arah kami melalui pagar,”
“Alberto terjebak disudut pagar. Kata-kata terakhirnya adalah ‘Papa, mi stanno schiaccando’ (ayah mereka menghancurkanku).”
Saat itu, Guarini yang berada dalam kondisi setengah sadar melihat tim medis mencari putranya. Dan yang mereka temukan adalah, Alberto sudah dalam keadaan tak bernyawa.
Meski terjadi kekacauan, pertandingan tetap dilanjutkan. Alasannya, pihak penyelenggara yang sudah berdiskusi dengan sejumlah pihak terkait tidak ingin para supporter semakin gelap mata akibat pertandingan dibatalkan.
Pada partai final itu, Juventus berhasil menang dengan skor tipis 1-0, berkat gol yang dicetak oleh Michel Platini melalui titik putih pada menit ke 56.
Bermula dari Zibi Boniek yang dilanggar di kotak terlarang, Platini sukses menceploskan bola ke gawang Liverpool yang dikawal Bruce Grobbelaar. Tanpa terkendali, euforia para suporter dan pemain Juventus mengubur duka yang seharusnya mereka tangisi hari itu.
Buntut dari tragedi tersebut, UEFA menjatuhi hukuman larangan bertanding lima tahun bagi tim-tim Inggris. Khusus Liverpool, enam tahun. Konon, hukuman inilah yang menjadi cikal bakal supporter Liverpool sangat dibenci warga Inggris.
Lebih lanjut, hukuman atas malapetaka yang terjadi tidak hanya dalam bentuk larangan bermain, namun juga tiga tahun menginap di hotel prodeo bagi 14 suporter Liverpool yang dianggap menjadi biang keladi dari kerusuhan tersebut.
Ketika larangan bermain diumumkan, Perdana Menteri Inggris, Margaret Tatcher, sepenuhnya mendukung segala keputusan yang telah dibuat dengan mengatakan,
“Kita harus membersihkan olahraga ini dari aksi kekerasan di rumah kita sendiri, kemudian mungkin kita bisa kembali melanglang buana seperti sedia kala.” (dikutip dari The Guardian)
Setelah puluhan tahun berlalu, insiden ini tak lantas membuat supporter dari kedua tim tersebut saling balas dendam. Hal itu terbukti pada partai Liga Champions tahun 2005, yang mempertemukan Liverpool dan Juventus, di tribun Kop Stand stadion Anfield. Fans Liverpool terlihat membuat mozaik bertuliskan AMICIZIA atau yang berarti persahabatan.
Mozaik itu memang sengaja dibuat sebagai suatu bentuk permohonan maaf suporter Liverpool kepada tifosi Juventus.