Sebelum era Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, hingga Kylian Mbappe, sepakbola lebih dulu miliki seniman klasik bernama Zinedine Zidane. Meski sangat sulit menyimpulkan secara ringkas seorang pemain seperti Zidane, kata yang mungkin paling pas adalah “panache”. Sebuah kata yang memiliki konotasi kepercayaan diri, flamboyan, dan secara harfiah diterjemahkan sebagai sesuatu yang membanggakan. Kata itu bersumber dari Raja Henry IV.
Meski Zidane dianggap tak lebih bersahaja dari Raja Henry IV, dia adalah pemimpin sejati dari klub sekaliber Juventus, Real Madrid, hingga Tim Nasional Prancis dalam pertempuran paling krusial.
Miliki sikap pendiam nyatanya tak membuat sanjungan dari para penggemar ikut melirih. Bahkan, mantan pelatihnya di Timnas Prancis, Raymond Domenech, menyebut kalau Zidane adalah sebuah mitos, dewa dan raja.
“Zidane seperti sebuah mitos. Mitos mampu mengatur emosi orang dan tidak hanya yang bersifat positif,”
Penilaian dari sang pelatih mengerucut pada kehebatan Zidane. Zidane adalah seorang pendiam. Kaki-kakinya bekerja lebih banyak dari mulutnya. Ia memberi sebuah cerita yang mungkin bisa mengendalikan emosi orang yang menyaksikannya. Selain pujian-pujian terhadap sesama pemain dan keluarganya, tidak banyak ucapan Zidane yang patut diingat. Kutipan terbaiknya, bisa jadi adalah ucapannya mengenai arti penting kerja keras yang diajarkan sang ayah.
“Aku sangat terinspirasi olehnya,”
“Adalah ayahku yang mengajarkan kami bahwa seorang imigran harus bekerja dua kali lebih keras dari orang lain, bahwa kami tidak boleh menyerah”, ungkap Zidane.
Zidane memang sosok yang pantang menyerah. Seperti apa yang menjadi petuah sang ayah, Zidane selalu terlihat yakin dengan bola yang ada dikakinya. Situasi sesulit apapun sama sekali tak menciutkan nyalinya. Zidane begitu anggun diatas lapangan, ia menghipnotis semua yang menyaksikan, dan, untuk semua yang ada pada dirinya, Zidane adalah pemain dengan tembakan kuat dan akurat.
Berkat kedigdayaannya diatas lapangan itulah, selain mitos, Domenech juga menyebutnya sebagai seorang dewa. Jika sebutan itu terlalu berlebihan, maka setidaknya Zidane adalah dewa dalam bentuk manusia. Ia begitu tangguh dan mampu membuat semua orang bahagia, terutama penggemar Tim Nasional Prancis.
Keberhasilan Zidane di panggung Internasional tidak perlu dipertanyakan lagi. Playmaker super kreatif ini adalah titik keberhasilan Tim Ayam Jantan dalam menjuarai trofi Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2002. Selain itu, kehebatannya juga turut mengantar Timnas Prancis menuju partai puncak Piala Dunia 2006 yang dihelat di Jerman.
Selain Domenech yang menyadari kehebatan Zidane, mantan rekan setimnya, Thierry Henry pun tak mau kalah dalam memberi sanjungan kepada sang maestro.
“Apa yang akan aku katakan ini keras, namun ini kenyataan. Di Perancis, semua orang sadar bahwa Tuhan ada, dan dia ada di Tim Nasional Perancis. Tuhan sudah kembali. Tidak banyak lagi yang bisa dikatakan.” ucap Thierry Henry
Dalam dua partai krusial itu, Zidane menyumbang dua gol bagi Timnas Prancis di partai final Piala Dunia 1998 melawan Brasil. Di turnamen tersebut, ia juga dinobatkan sebagai pemain terbaik. Dua tahun berselang, tendangan luar biasanya meluncur deras di babak perempat final Euro 2000. Serta, satu gol lagi di babak semifinal yang ikut mengantarnya menuju panggung pemain terbaik sepanjang turnamen.
Di Piala Dunia 2006, Zidane turut menjadi kunci keberhasilan Prancis yang melaju hingga partai final. Namun, satu goresan luka terhadap celaan Marco Materazzi telah membuatnya diusir dari lapangan.
Disinyalir, itu merupakan salah satu alasan Domenech menganggap bahwa Zidane sebagai pribadi yang kurang menyenangkan. Ya, dalam sebuah kesempatan, Domenech juga pernah berujar,
“Dia (Zidane) merupakan jelmaan dewa. Tapi dia bukan bintang yang lembut dan bukan sosok yang menyenangkan.”
Meski begitu, Domenech yang saat itu menjadi juru tak Tim Ayam Jantan telah melupakan kesalahan Zidane. Bahkan ia berkata kalau tidak ada yang perlu dimaafkan, karena semua pemain maupun staff sama sekali tidak menuduhnya telah berbuat kotor.
Kejeniusan Zidane di Timnas Prancis sebetulnya telah dimulai sejak ia melakukan debut pertama. Saat itu, tepat pada 17 Agustus 1994, seorang pemuda berusia 22 tahun bernama Zidane melakukan debutnya bersama timnas senior Prancis dalam sebuah laga persahabatan melawan Republik Ceko di Stade Nouveau, Bordeaux. Dalam debutnya, Zidane menorehkan sebuah penampilan yang cukup luar biasa.
Les Bleus ketika itu sedang tertinggal 0-2 lewat gol dari Tomas Skuhravy pada menit ke 42 dan Daniel Smejkal pada menit ke 45. Pelatih Prancis kala itu, Aime Jacquet, akhirnya melakukan perubahan pada babak kedua, salah satunya adalah dengan memasukkan Zidane untuk menggantikan Corentin Martins.
Dengan masuknya Zidane, permainan Prancis pun menjadi lebih hidup. Puncaknya ketika menit ke 85, Zidane yang menerima bola di wilayah pertahanan Republik Ceko, mulai menggiring bola mendekati kotak penalti dengan melewati dua bek Ceko untuk kemudian melepas tembakan keras. Prancis pun berhasil memperkecil kedudukan.
Setelah melepaskan tembakan yang spektakuler, Zidane melengkapi debutnya di timnas senior Prancis ini dengan mencetak gol kedua pada menit ke 87, melalui sundulan kepala. Sundulan sang maestro itulah yang pada akhirnya menciptakan hasil imbang 2-2 untuk kedua tim.
Di level klub sendiri, Zidane muda mulai dikenal publik berkat permainan cemerlangnya bersama Cannes dan Bordeaux dalam ajang Ligue One. Setelah itu, ia melanjutkan karier bersama raksasa Italia, Juventus. Berhasil mengamankan dua trofi scudetto, Zidane akhirnya diboyong Real Madrid dengan nilai yang menjadikannya sebagai pemain termahal sejagad, yakni 42 juta euro atau setara 654 milliar rupiah.
Berbekal sejumlah trofi begengsi, Zidane datang ke Bernabeu dengan kepala tegak. Dirinya yang saat itu membela Madrid di ajang Liga Champions Eropa sukses mencetak gol spektakuler di laga final melawan Bayer Leverkusen.
Di Madrid, sosok Zinedine Zidane jauh semakin dikenal. Tenang, jenius, mematikan, dan tanpa kesombongan. Jika melihat fenomena tersebut, maka ungkapan dari Jean-Louis Murat tentang sosok Zidane akan sangat serasi. Seniman asal Prancis itu pernah berujar,
“Tidak ada yang tahu Zidane itu malaikat atau iblis. Ia tersenyum seperti Bunda Teresa dan menyeringai seperti pembunuh berantai.”
Sosok Zidane memang amat langka. Ada pemain hebat seperti Diego Maradona dan Johan Cruyff. Meski berbeda, keduanya tampak serupa dan memiliki kesamaan. Tapi, Zidane berbeda dengan caranya dalam memanipulasi bola dan menciptakan ruang yang semula tidak ada. Dengan tambahan visi bermain yang tak kalah mencengangkan, itu sudah cukup untuk membuatnya tampak istimewa.
Jika ungkapan mitos dan dewa sudah terwakilkan, maka bagian raja akan menjadi sesuatu yang cukup menarik. Pasalanya, kedua elemen pertamalah yang menjadikan Zidane tampak seperti raja. Meski pada hakikatnya dewa lebih besar dari raja, namun ungkapan ini tampak tidak terlalu berlebihan jika disematkan dalam lingkup kesuksesannya pada urusan mengangkat sebuah piala.
Setelah apa yang dilakukannya sebagai pemain, riwayat akan dirinya semakin menguat setelah ia ditunjuk sebagai pelatih anyar el Real. Saat itu, orang-orang masih bertanya tentang kapasitas Zidane. Tak ada yang menyangka sekaligus menduga bahwa sosok pengganti Rafael Benitez yang dianggap gagal di Madrid, adalah sosok pelatih bernama Zinedine Zidane.
Wajar saja, pengalaman melatihnya hanya berkutat di tim Real Madrid B ketika itu. Di level yang lebih tinggi, Zidane hanya pernah menjadi asisten pelatih Carlo Ancelotti dan menjadi bagian dari La Decima Madrid di musim 2013/14 silam. Selain itu, Zidane sama sekali tidak punya pengalaman melatih di level kompetisi yang tinggi.
Namun, segala keraguan mulai terpatahkan dengan satu demi satu gelar yang ia sumbangkan. Mahkotanya sebagai seorang raja mulai terpahat rapih. Zidane tampak berwibawa saat menemani anak asuhnya bertanding. Dari pinggir lapangan, sang raja telah buktikan kualitasnya.
Tercatat, gelar Liga Champions Eropa, La Liga Spanyol, UEFA Super Cup, Spanish Supercoppa, hingga FIFA Club Wolrd Cup telah tandai penobatannya sebagai seorang raja.